Fakta Sejarah Dibalik Perjanjian Renville Antara Indonesia dan Belanda

Hijaz.id, Umum — Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Perjanjian bersejarah ini sesuai namanya, dilakukan di atas geladak kapal UUS Renville milik Amerika Serikat. Australia, Belgia dan Amerika Serikat menjadi penengah dalam perjanjian ini merupakan Komisi Tiga Negara (KTN).

Latar Belakang Perjanjian Renville

Perjanjian ini dibuat karena pihak Belanda melanggar isi perjanjian Linggarjati (1946) yang telah disepakati sebelumnya.

Akibat sikap Belanda yang tidak konsisten tersebut membuat perseteruan antara Indonesia dan Belanda memanas.

Belanda melancarkan serangan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli hingga 4 Agustus 1947, yang menyebabkan reaksi keras dari pihak luar negeri.

Agresi Militer I dihentikan setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan perintah gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. Gencatan senjata ini dihentikan tepatnya pada tanggal 6 Agustus 1947 oleh Jendral Van Mook dari Belanda.

Pada tanggal 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari negara Australia, Belgia dan Amerika Serikat.

Belgia adalah negara perwakilan yang dipilih oleh Belanda dan Australia negara perwakilan yang dipilih Indonesia, serta Amerika Serikat yang disepakati kedua belah pihak sebagai penengah.

Tujuan dibentuknya Komisi Tiga Negara adalah untuk menyelesaikan konflik antara dua negara secara damai.

Tanggal 29 Agustus 1947, Belanda membuat garis Van Mook sehingga wilayah Indonesia hanya sepertiga pulau Jawa dan pulau Sumatera.

Selain itu Belanda melakukan blokade untuk mencegah masuknya persenjataan, pakaian dan makanan menuju wilayah Indonesia.

Waktu dan Tempat Perjanjian Renville

Waktu dan Tempat Perjanjian Renville
Waktu dan Tempat Perjanjian Renville

Pelaksanaan perjanjian damai ini pada tanggal 8 Desember 1947, dan waktu penandatanganan adalah tanggal 17 Januari 1948.

Untuk tempat terjadinya perjanjian dilakukan di tempat yang netral yaitu diatas kapal milik Amerika Serikat yang bernama kapal USS Renville. Selama perjanjian kapal tersebut berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta.

Tokoh Perjanjian Renville

Berikut tokoh yang terlibat langsung dalam Perjanjian Renville, dari pihak Indonesia, Belanda dan pihak mediator dari PBB.

1. Indonesia

Indonesia diwakili oleh tokoh-tokoh penting yaitu Amir Syarifudin Harahap sebagai ketua. Ali Sastroamijoyo, Haji Agus Salim, Dr.Coa Tik Len, Dr.Johannes Leimena, dan Nasrun sebagai anggota.

2. Belanda

R.Abdul Kadir Wijoyoatmojo sebagai ketua, dengan anggota 3 orang lainnya yaitu Dr.P.J.Koest, Mr.Dr.Chr.Soumokil dan Mr.Van Vredenburg.

3. PBB

PBB sebagai mediator/penengah diwakili oleh Frank Porter Graham sebagai ketua, Richard Kirby dan Paul van Zeeland sebagai anggota.

Lahirnya Perjanjian Renville

Proses lahirnya perjanjian ini menghadapi beberapa drama penolakan dan kesepakatan yang alot. Pihak Indonesia terpaksa menyetujui hasil perjanjian yang merugikan ini karena kondisi Indonesia yang buruk pasca Agresi Militer I.

Indonesia bisa saja tidak menyetujui hasil  perjanjian, namun hal ini harus dibayar dengan peperangan yang mengorbankan banyak nyawa.

Pada saat itu komandan-komandan tentara menginformasikan bahwa jumlah amunisi sedang kritis.

Sehingga hal tersebut tidak memungkinkan untuk melakukan peperangan melawan Belanda yang memiliki banyak persenjataan canggih.

Dalam kondisi demikian Indonesia terpaksa menandatangani hasil perjanjian.

Pihak AS yang dianggap tidak netral juga menjadi salah satu penyebab disetujuinya hasil perjanjian.

Dr.Johannes Leimena penulis buku The Duch-Indonesian Conflict (1949), menyatakan dengan jelas bahawa Indonesia berada dibawah tekanan AS untuk menandatangani perjanjian.

Dampak Perjanjian Renville

Indonesia di Paksa Menyetujui RIS

RIS (Republik Indonesia Serikat) adalah negara bentukkan Belanda yang memiliki kedudukan sama dengan Uni Indonesia Belanda.

Salah satu hasil perjanjian ini adalah Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, dengan kata lain Belanda memaksa Indonesia menyetujui pembentukan RIS.

2. Wilayah Indonesia Berkurang

Berdasarkan hasil perjanjian ini maka wilayah Indonesia hanya meliputi pulau Sumatera, dan sepertiga pulau Jawa.

Hal ini jauh lebih kecil dibandingkan saat Perjanjian Linggarjati, yaitu Sumatera, Jawa dan Madura. Pihak Belanda mempertegas batas wilayah Jawa yang dicaplok dengan Garis Van Mook.

3. Blokade Barang Masuk

Belanda juga melakukan blokade barang masuk menuju wilayah Indonesia. Blokade ini berdampak secara ekonomi dimana makanan, pakaian dan persenjataan tidak dibolehkan masuk ke wilayah Indonesia.

Akibat lain blokade ini adalah memperburuk keadaan ekonomi bangsa dan memperlemah kekuatan Militer bangsa Indonesia.

4. TNI Ditarik Mundur

Pasukan yang dengan susah payah menguasai wilayah Indonesia Timur, terpaksa ditarik mundur. Karena menurut hasil perjanjian daerah tersebut masuk dalam wilayah yang diduduki Belanda.

Wilayah Indonesia menurut perjanjian hanya Jogjakarta dan Jawa Tengah, oleh sebab itu TNI yang berada di Jawa Barat dan Jawa timur terpaksa ditarik mundur karena bukan wilayah Indonesia lagi.

5. Perpecahan Bangsa Indonesia

Mengetahui Indonesia adalah negara yang memiliki kesatuan kuat, Belanda membuat beberapa negara boneka yang digunakan untuk memecah Indonesia.

Neraga boneka tersebut antara lain Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Borneo Barat dan Negara Jawa Timur. Tujuannya adalah untuk mengontrol negara bagian agar dapat merebut seluruh wilayah Indonesia.

6. Terbentuk Kabinet Hatta

Kabinet Amir Syarifuddin yang mewakili saat pelaksanaan perjanjian dianggap menjual bangsa Indonesia karena hasil perjanjian yang tidak menguntungkan tersebut.

Tentangan keras datang dari berbagai partai politik seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Masyumi. Karena kondisi politik yang terus memanas membuat kabinet Amir Syarifuddin runtuh dan berganti dengan kabinet Hatta.

6. Terjadi Agresi Militer II

Agresi Militer II merupakan upaya Belanda untuk melanggar Perjanjian Renville. Serangan dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948 di segala sisi wilayah Indonesia.

Dalam operasi ini Belanda menangkap banyak tokoh penting, pimpinan negara (Soekarno dan Mohammad Hatta) dan menguasai ibukota negara Indonesia yang saat itu berada di Jogjakarta.

Pasca Perjanjian Renville

Setelah perjanjian semua prajurit dan TNI yang berada di gunung, hutan dan tempat lainnya diperintahkan menuju Jogjakarta dan Jawa Tengah.

Sekitar 3000 pasukan yang diperkirakan ikut hijrah menuju wilayah kekuasaan Indonesia menurut hasil perjanjian. Namun demikian tidak semua pejuang Indonesia mematuhi hasil perjanjian.

Pejuang Indonesia yang terus melakukan perlawanan adalah pasukan yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.

Pasukan ini tergabung dalam laskar, yaitu Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah.

Mereka tidak mematuhi hasil perjanjian seperti divisi siliwangi, mereka terus melakukan perlawanan bersenjata pada tentara Belanda.

Poin penting dari Perjanjian Renville adalah hasil perjanjian yang jelas merugikan Indonesia.

AS  sebagai penengah dianggap tidak netral karena banyak kejanggalan selama proses perjanjian berlangsung.