Bentuk Perjaungan Cut Nyak Dien dan Biografi Cut Nyak Dien Lengkap dengan Fisolofi Perjuangan Wanita asal Tanah Rencong ini
RiauOnline.id, Biografi Cut Nyak Dhien – Setiap orang di Indonesia pasti pernah mengenal nama Sosok Pejuang Wanita yang satu ini. Nama Wanita pemberani asal Aceh ini telah melagenda di hati Bangsa Indonesia.
Mengenangnya dan mempelajari sejarah Cut Nyak Dien adalah sebuah keharusan bagi setiap warga Indonesia Untuk mengenang beliau. Apakah kita bisa begitu cepat ‘lupa’ dengan sosok yang berjasa dengan Bangsa Indonesia.
…Inilah cara kita mengenal sejarah Bangsa Indonesia tercinta ini!
Daftar Isi
Profil Singkat Cut Nyak Dien
Mengenal Sosok Wanita dari Tanah Rencong bernama Cut Nyak Dien, siapa beliau ini?
Terlahit di Lampadang, Kerajaan Aceh sekitar tahun 1848. Kemudian, sosok yang diberi gelar Pahlawan Nasional ini menghembuskan nafas terakhirnya di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 6 November 1908.
Tercatat bahwa Pemerintah Indonesia memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan dasar penetapan Keppres No. 106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
- Kelahiran: 1848, Kabupaten Aceh Besar
- Meninggal: 6 November 1908, Sumedang
- Nama lain: Ibu Perbu / Ibu Ratu / Ibu Suci (Sumedang)
- Suami/istri: Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
- Orang tua: Teuku Nanta Seutia
- Pasangan: Teuku Umar (m. 1880–1899), Teuku Ibrahim Lam Nga (m. 1862–1878)
Nah, itu beberapa profil singkat Cut Nyak Dien yang sekiranya perlu untuk kita ketahui untuk menambah wawasan kita.
…Ingat!
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat sejarahnya!
Jadi, tak salah jika kita mengenang kembali Sejarah Cut Nyak Dien. Mengulas kembali Bentuk perjuangan Cut Nyak Dien.
Bentuk Perjuangan Cut Nyak Dien di Perang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus.
Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit.
Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874.
Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak.
Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880.
Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi’sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat.
Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada Belanda.
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh.
Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda.
Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.
Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.
Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.
Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal yang bertugas.
Unit “Maréchaussée” lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh.
Selain itu, kebanyakan pasukan “De Marsose” merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.
Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit “De Marsose”.
Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh.
Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian.
Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.
Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Flash Back Keadaan Aceh dan Kehadiran Cut Nyak Dien
Langit seperti memberi isyarat bahwa seorang wanita renta harus mengakhiri perjuangan panjangnya di rimba Aceh. Wanita itu harus menyarungkan rencong-nya.
Butiran uap air yang menggumpal mulai menghujani persembunyiannya di pedalaman rimba.
Pang Laot [tangan kanan Nyak Dhien] melangkahkan kakinya dengan bimbang menuju pucuk bukit.
Sepasukan Marsose bersenjata lengkap tampak menyemut di belakangnya menuju tempat persembunyian sang panglima wanita itu.
Cut Nyak Dien memang masih melakukan serangan terakhir dengan rencongnya, tetapi gagal.
Pejuang Aceh itu akhirnya tertangkap. Perjuangannya memang berakhir dramatis, dikhianati anak buahnya sendiri yang kasihan melihat keadaannya.
Walaupun demikian, tentara Belanda sendiri mengakui betapa Cut Nyak Dhien sosok pemimpin perang Aceh yang ditakuti.
Cut Nyak Dien dilahirkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda.
Situasi itu berpengaruh terhadap dirinya. Ia menikah dalam usia muda dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Pada Desember 1875, Lampadang diduduki Belanda.
Ketika itu Cut Nyak Dien pernah mengungsi ke suatu tempat, ia kemudian berpisah dengan suami dan ayahnya serta keluarga yang disayanginya. Cut Nyak Dien harus terus melanjutkan perjuangan.
Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran di Gle Tarum pada Juni 1878.
Cut Nyak Dien juga mengikrarkan dirinya hanya dan akan mau menikah dengan sesosok laki-laki yang akan bersedia membantunya untuk menuntut dan membalas kematian suaminya.
Pada 1880 ia menikah untuk kedua kalinya dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya.
Teuku Umar adalah seorang pejuang Aceh yang akhirnya juga gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Pebruari 1899.
Selanjutnya, Cut Nyak Dien terus melanjutkan dan melakukan perjuangannya di daerah pedalaman Meulaboh.
Cut Nyak Dien juga termasuk salah seorang pejuang yang selalu berusaha sekeras mungking, pantang baginya untuk tunduk dan tidak mau berdamai dengan Belanda.
Enam tahun lamanya Cut Nyak Dien bergerilya melawan orang-orang Belanda yang disebutnya kape [kafir].
Ketika Pasukan Belanda berusaha menangkapnya!
Lama-kelamaan jumlah pasukan makin berkurang. Bahan Makanan sulit diperoleh. Ia semakin tua, mata mulai rabun, dan penyakit mulai menyerang.
Anak buahnya merasa kasihan melihat keadaan yang demikian itu. Atas dasar kasihan itu, Pang Laot, seorang panglima perang dan kepercayaan Cut Nyak Dien, menghubungi pihak Belanda.
Sesudah itu, pasukan Belanda datang untuk menangkapnya. Cut Nyak Dien segera ditawan di Banda Aceh.
Lalu ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan inilah, Cut Nyak Dhien meninggal dan dimakamkan di sana.
Atas jasa- jasanya dalam perjuangan melawan kolonial Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1964.
Itulah Biografi Cut Nyak Dhien, Perempuan Pemberani dari Tanah Rencong! Masih banyak hal menarik dari sosok Cut Nyak Dhien ini, mari belajar sejarah!